Ini Dia Contoh Cerpen Tema Persahabatan dan Aksi Karyaku!


Blog Pasti Bisa 2017 - Temen-temen sekalian, kali ini ane akan share cerpen buatanku ini. Ini cerpen pertama dengan jumlah huruf >4500 kata buatanku yang kubuat di pc. Monggo dibaca, boleh juga dijadikan bahan tugas ente asal sertakan sumbernya, karena buatnya gak mudah toh. 

Judul : Stay with Me!
Genres : Persahabatan, Action, Sci-Fi
Pengarang : Fadhilla Ilham Robbani

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Stay with Me!

“Apa? Aku terpilih?”, gumamku dengan perasaan senang yang tak bisa kugambarkan. Hari itu aku terperanga karena ada hal yang membuatku terkejut di waktu sore yang mendung.
 “Yeh, Ryuko! Kita bisa kompak lagi”, kata Uzran dari samping bangkuku sambil mencubit pipiku. “Apaan kamu sih? Lepaskan ini oy! Sadar sudah besar lho!”, pintaku sambil mencabut tangannya dari pipiku.
“Habis kamu ini cute banget sih! Kamu ini kuanggap adekku ya? Hihihi” Ocehan Uzran membuatku terpaku saja di tempatku.
“Ih kamu ini, ada-ada aja”, ucapku ke Uzran dengan sebal. “Kalian berdua, cepat sana ke ruangan pak ketua yayasan ini tuh! Udah ditinggal yang lain tuh!”, kata dosenku dari mejanya.
“I-iya pak!”, balasku dengan agak kerepotan karena tingkah aneh Uzran itu.  Kami berdua menuju ke ruang ketua yayasan karena dipanggil.  Kami memasuki ruangannya dan melihat pak kepala sekolah dan teman-temanku yang lain sudah menunggu.
 “Nah, kalian sudah di sini semua. Jadi langsung ke intinya ya! Besok kalian akan mengikuti acara festival para pelajar dan mahasiswa. Kira-kira kalian akan berangkat ke Kota Kyoto selama delapan hari. So! Persiapkan diri kalian dari sekarang. Sebenarnya kalian enak sih karena kalian selama itu tidak belajar dulu. Namun, buat universitas kita jadi juaranya ya!”,  ucap pak ketua yayasan panjang lebar di hadapan kami.
“Begitu ya pak? Apa itu aja yang ingin disampaikan”, tanya seorang perempuan berhijab yaitu.
“Sebenarnya itu saja. Karena kalian sudah repot-repot ke sini, mending istirahat di sini aja sambil bantu-bantu dikit. Anata dan Ryuko, tolong salin ini ke komputerku ya. Uzran dan Hinoka rapikan kertas-kertas itu. Yukito dan Nakata, belikan nasi goreng enam bungkus dengan minumannya di kantin ya! Kita makan-makan dulu yak!”, ucapnya dengan santai. Kami meminta maaf karena sudah membuat repot dirinya, namun beliau tidak mengapa. Maklumlah, dia memang begitu. Teng-Teng” Bel
“sekolah berbunyi tanda waktunya pulang. Aku pulang ke rumahku di waktu senja sendirian. “SHHH” Hujan mulai turun di kotaku. Mungkin aku harus menunggunya reda.
“Ryuko, nih untukmu!”, ucap seseorang dari sampingku sambil memberikanku sebuah payung. “Makasih, eh Anata!” Aku mengambil payungnya dengan tersenyum.
“Nggak papa, tadi kulihat kamu basah kuyup ke sekolah.”, terusnya padaku sambil merasa cemas. Aku berjalan pulang ke rumahku sendirian.
“Aku merasa berhutang budi padanya”, gumamku dalam pikiranku. Aku pulang ke rumahku. Aku hidup seorang diri di rumahku karena aku yatim piatu.
 Sudah sekitar satu tahun yang lalu kedua orang tuaku meninggal saat insiden kecelakaan di luar kota. Aku mempersiapkan semua kebutuhan untuk kepergianku ke Jepang nanti. Harapanku agar bisa mendapatkan pengalaman bersama teman-temanku di negeri itu.      
                                  ( Episode II “Kehilangan”)
Hari besokpun tiba. Aku berangkat bersama teman-temanku dengan beberapa guruku ke Stasiun Minata. Itu adalah stasiun kereta api maglev, yaitu kereta apinya tanpa roda dan memanfaatkan daya tolak magnet. Aku dan teman-temanku menunggu dan kemudian memasuki kereta yang kami pakai. Tentu saja kami menggunakan yang kelas high.
Di perjalanan, terlihat pemandangan Gunung Fuuji yang menjulang tinggi. Terlihat juga para petani dan pekerja kantor di balik jendelaku. “Lima menit lagi, kereta akan sampai di tujuan.”, seru masinis melalui pengeras suara.  Kami tiba di kota yang disebut Kota Kyoto. Kulihat sekarang musim dingin disertai salju berjatuhan dari langit yang hitam. Tidak terasa kalau hari sudah malam.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku anggap wajar karena kami berangkat sekitar jam delapan malam. Kami mengambil barang bawaan dan membawanya ke penginapan kami. Kulihat kota yang sudah maju namun kondisinya masih asri.
            Kami beristirahat makan malam bersama teman-temanku. “Ryuko, aku mau izin dulu ya. Kalau ditanya pak dosen bilang aja ada keperluan penting.”, kata Uzran di sampingku sambil menutup tempat makannya.
“Lho sudah selesai. Iya tenang aja ya”, balasku ke Uzran sambil melirik ke arahnya. “Oke! Bye”, sahutnya sembari mengacak-ngacak rambutku.
 “Ih! Dasar Uzran!”, gumamku sambil menelan kembali makananku.
Tak terasa hari sudah semakin malam. Aku kembali ke kamarku dan bersiap-siap untuk tidur. Dalam hatiku, aku penasaran Uzran pergi kemana. Yah, aku yakin dia ada urusan penting dibalik tingkahnya yang terburu-buru tadi. Selepas makan, aku segera meletakkan tempat makanku di tempat cucian piring.
“Hoahh!” Aku menguap karena sudah menahan kantukku yang tak tertahankan. Sebelum itu, aku ingin pergi ke toko yang tak jauh untuk membeli sesuatu. Kekenakan jaket dan syalku untuk menghindari dinginya udara dan salju.
 “Kyaaah!” Aku melihat sosok bertopeng dengan jubah abu-abu mengenakan topeng saat aku berada di antara pepohonan. Dia juga terlihat menggunakan sebilah pedang.
“AHH! Ada hantu gentayangan!”, kataku terkaget seolah tak percaya apa yang kulihat. “Hei, aku bukan hantu, Ryuko!”, katanya seakan-akan dia mengenaliku. “Eh, jadi siapa kamu? Kenapa kamu kenal aku? Spesies macam apa kamu?”
“Diam! Akupun tak menyangka kau orangnya. Maafkan aku karena harus terlibat dalam misi ini.”, ucapnya yang membuatku bingung. “Sebaiknya kamu mati atau kubawa? Ah! Kuakhiri saja kamu!”
 “Srenggg!” Pria itu tiba-tiba dengan sangat cepat bahkan sampai tidak sadar kalau dia mendekatiku. Lalu dia menebas lengan bajuku hingga robek.
“Aha, kamu mencoba melawanku dengan aku yang bertangan kosong, benar-benar tidak berkelas.” Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke arahnya dan memukul wajahnya sekuat tenagaku.
“Krakk!” Terbuka topeng yang menutupi wajahnya. “KAMU!!!” Aku terkejut melihat siapa yang kulihat ini. “Brakk!” Tiba-tiba dia mencekik leherku dan menyeretku kesebuah batang pohon sakura.
 “Maafkan aku, Ryuko!”, ucap si pria itu dengan nada sedih. “Apa yang kau lakukan, UZRAN! Kukira kau sedang pergi?”, teriakku ke arahnya dengan tubuhku yang tak berkutik dibuatnya.
“Kamu tak berhak bertanya lagi!” Dia kembali bersiap diri menggunakan sebuah pedang beraliran listrik  yang bersiap menghujam tubuhku.
“Sadarlah!!! Baru saja kita datang ke sini padahal belum ada hal menyenangkan yang kita lakukan, mengapa kaubertingkah seperti itu, Uzran?”, teriakku lagi sambil menampar keras wajahnya.
“Maafkan aku! Tapi ini misiku untuk menghabisimu!”.
“Misi katamu? Kita sudah melalui hari-hari sebagai seorang sahabat dan kau meretakkan ini begitu saja. Apa maksudmu ini? Kukira kau teman baikmu!”
 “Ini bukan urusanmu lagi Ryuko. Sekarang musnahlah bersama impian bodohmu itu!”, lontaran kata-kata yang sangat menusuk hati itu membuatku seakan tak bisa apa-apa lagi.
Kulihat kembali masa-masa laluku bersamanya. Kami berdua mulai menjadi sahabat ketika orang tuaku sudah meninggal bahkan sebelum itu. Dia menjadi sahabatku sejak itu meskipun dia kadang menjahiliku. Sering sekali dia menolongku apalagi di saatku sedang merasa susah. Tertawa, bercanda, senda gurau, dan saling membantu. Tapi, mengapa harus berakhir seperti ini. Tidak! Tidak akan aku biarkan seperti ini. Tidak akan pernah!
“TIDAK AKAN PERNAH!!!”, kata yang kencang itu langsung keluar dari mulutku ke arah Uzran yang bodoh itu.
Srakk! “Tentu kau tidak akan pernah bisa hentikan aku.” Aku tak sadar senjatanya telah menghujam dalam tubuhku.
“Hukh! Apakah begini akhirnya? Akankah aku bisa bertemu lagi denganmu? Aku tak ingin kau masuk ke lembah yang gelap lebih jauh lagi.”, kataku dengan hampir kehabisan tenaga dengan nafas terengah-engah.
“Apa maksudmu?” Terlihat matanya kebingungan dengan melihat tajam ke arahku.
Kucoba membuat bibirku untuk tersenyum padanya lagi, meskipun tak tahan akan rasa sakit yang amat menyakitkan ini.
“Karena kita teman. Jadi aku tak bisa membiarkanmu. Maafkan aku ya. Sepertinya aku tak bisa menggapai yang ingin kita raih bersama”, kataku sembari mencoba menghapus air mataku yang telah mengucur deras di pipiku
“Hentikanlah ocehan bodoh yang tak berguna lagi itu! Kaupikir itu bisa menghentikanku. Bahkan dalam keadaan seperti ini kau masih saja mengoceh dan terus saja mengoceh! Kauini memang tau apa?”
“Uzran… bukankah kaulah yang sering suka mengoceh tentang diriku? Tak bolehkah aku mengatakan sesuatu lagi untukmu bahkan bila itu tak berguna buatmu?”
. “Itu… tak penting buatmu juga! Sekarang sudah berakhir Ryuko!” Tangannya yang memegang pedang bersiap mengakhiri ini.
“Apakah ini akhirnya?”, gumamku dalam hati dengan perasaan sedih yang bercampur aduk dengan kekecewaan. “Hei, apa yang, hah  K-kamu” Yukito dan Nakata menemuiku yang berlumuran darah.
Uzran menghindar dan menjauh dariku yang sedang tak berdaya.  “Apa yang kamu lakukan ini? Apapun itu tak akan kumaafkan!”, teriak Yukito pada Uzran dengan kemarahannya. “Ini tak ada hubungannya dengan kalian. Menjauhlah dari sini atau kalian akan menyesal”
 “Kausudah gila ya Uzran? Tiba-tiba saja menyerang temanmu!!! Akan kuhabisi dirimu di sini!”, teriak Yukito lagi yang makin menyala-nyala kemarahannya. Sembari Yukito sibuk mengalihkan perhatian Uzran, Nakata membawa diriku yang sudah terbujur di tanah. Perlahan-lahan aku mulai merasakan sakit mulai menyebar ke seluruh tubuhku dan kehilangan kesadaran.  
***************
            Apakah aku mati? Di mana aku? Ah tidak, kurasa hanya mimpi.   “Hahkh!” Aku terbangun di sebuah ruangan. Benar, ini adalah rumah sakit.
 “Ryuko, kau sudah sadar?”, kata seseorang dari balik penglihatanku yang masih samar-samar. Makin jelas, ternyata dia adalah Yukito. Kulirik lagi makin jelas ternyata teman-temanku berada di sampingku.
“Iya? Bagaimana dia?”, tanyaku meskipun rasa sakit masih sedikit menganggu.
            “Dia sudah melarikan diri entah ke mana. Kalau aku temui dia lagi, takkan kuampuni si Uzran itu.”, kata Yukito sambil mengepalkan erat-erat kedua tangannya.
“Bagaimana dengan guru? Apa yang kau bilang tentangnya”, tanyaku lagi karena rasa penasaran menyelimutiku. “Aku bilang aja kalau ada perampok datang.”, ucapnya sembari menenangkan diriku yang gelisah.
            “Kamu sudah sadar ya Ryuko? Syukurlah”, kata seseorang yang datang bersama guruku. Dia adalah Anata.
“Alhamdulillah iya.”, balasku dengan senyumanku ke arahnya. 
“Kamu kelihatan sudah baikan. Kata dokter kamu boleh keluar dari sini setelah satu minggu.”, lanjut Anata dengan meletakkan buah-buahan di meja bersama dosenku. Setelah mereka cukup lama bersama menemaniku, aku beristirahat di tempat tidur.
Tujuh hari sejak kejadian itu, aku diperbolehkan kembali menuju penginapanku. Sejak itu juga, aku belum menjumpai Uzran lagi. Entah ke mana dia pergi meninggalkanku. Musim dingin disertai salju masih berlangsung di sini. Aku duduk di teras penginapan hotelku.
 “Yang benar saja! Sudah seminggu aku telah di rumah sakit, bukannya mengikuti acara itu bersama teman-temanku malah seperti ini. Terlebih lagi, mengapa Uzran mengkhianatiku dan menghilang selama seminggu ini” , pikirku dengan kekesalan dalam hatiku.
“Sudahlah, Ryuko. Jangan sedih gitu!  Happy dikit dong!” Nakata dan Yukito datang bersamaan menemuiku. “Iya, aku hanya penasaran apa yang sedang dilakukannya”, ucapku sambil memandang langit malam.
“Hmm, Ryuko bisakah kami membantumu. Aku paham maksudmu.”, tanya Nakata padaku. “Itu tak perlu. Aku sudah senang kalian masih bersamaku. Bagiku itu cukup.”
“Ah Ryuko. Kamu ternyata kamu telah banyak berubah. Apakah kau sudah lupa janjimu pada Uzran, Ryuko?”, tanya Nakata dengan menaikkan suaranya. “Janji?”, kataku terpaku bingung.
“Iya, Ryuko. Kami mendengar pembicaraanmu sebelum menemuimu. Kau bilang takkan membiarkannya kan, Ryuko. Memang hal apa yang bisa membuat lupa hal itu, Ryuko!”
“Ah benar!”, ucapku dengan lesu dan terdiam. Aku memikirkan diriku saat aku masih kecil kembali. Adikku meninggalkanku, kemudian orang tuaku, dan kini Uzran.
“Iya, mungkin ini sudah saatnya!” Mereka tersenyum melihat kata-kataku itu.  “Maafkan aku teman-teman, aku tak bisa melibatkan kalian lagi”, gumamku dengan rasa sedihku.
***************
Mentari pagi terbit di ufuk timur. Ini adalah hari terakhirku sebelum kembali ke kotaku. Hari ini, juga aku akan menyelesaikan masalah ini, yaitu masalah aku dan dia. Tepat pukul enam pagi, aku meninggalkan penginapanku sendirian karena aku tak ingin melibatkan mereka.  Aku berlari tanpa arah namun dengan tekadku yang sudah bulat membuatku semakin ingin dan terharu untuk bertemunya.
“Ctaakkk!” Langkahku terhenti saat kakiku tersandung batu yang membuatku tersungkur ke tanah. Kulihat kakiku yang meneteskan darah sambil menahan rasa sakitku yang bercampur dengan emosiku.
”Ini!” Aku tak sadar kalau telah berlari cukup jauh dari penginapanku. Aku melihat kota yang bersebelahan dengan hutan lebat yang tersamar bayangan kegelapan. Namun, aku melihat hal yang janggal, ada sebuah cahaya terang di tengah hutan itu.
 “Apa lagi itu?”, tanyaku pada diriku sendiri dengan merasa agak takut dan gemetaran. “Kemarilah!......Ryuko…..bergabunglah….di sini….bersama kami……semua.”
“Kyahhh!!” Aku langsung ketakutan mendengar suara misterius di dalam hutan. Suaranya terdengar sangat seram bagiku. Tapi entah kenapa, otakku seakan-akan terhipnotis oleh kata-kata itu. Perlahan-lahan aku mendekati arah sumber suara itu. .
“T-tidak!”, teriakku saat perlahan-lahan tubuhku memasuki cahaya itu. Kurasakan pikiranku mulai seperti disadap oleh sesuatu yang membuatku merasakan kesadaranku perlahan-lahan menghilang.
“Ryuko, tak kusangka kau sudah begini. Sekarang bergabunglah lebih jauh lagi!”, kata suara misterius itu yang kini seperti berada di dalam tubuhku. Kurasakan tubuhku makin lemas hingga aku kembali tak sadarkan diri.
 “Ryuko! Ryuko! Sadarlah! Bangunlah”, teriak seseorang seperti sedang membangunkan diriku. “Tprakk!” Aku seperti terasa ditampar sesuatu yang lantas membuatku terbangun kembali.
“Ryuko, kau sadar?” Aku perlahan-lahan kubuka kedua kelopak mataku dan melihat ada empat orang di hadapanku. Aku melihat tempat sekitarku yang terasa sangat asing bagiku.
“Eh, kalian? Mengapa di sini?”, tanyaku pada mereka yang tak lain adalah Yukito, Nakata, Hinoka, dan Anata.
“Oy Ryuko! Maaf soal tamparanku tadi. Tapi efeknya itu manjur lho! Lain kali jangan keluyuran sendirian!”, ucap Yukito padaku sembari menempelkan tangannya di pinggangnya.
“Ngomong-ngomong ini ada di mana? Kami lihat kamu berjalan melalui cahaya aneh itu dan sampai di sini.?, sambungnya sembari melihat keadaan sekitarnya. “Haha, iya-iya aku minta maaf. Akupun juga nggak tau Yukito ini ada di mana. Sebaiknya…”
“Czinnggg!” Belum selesai bicara, tiba-tiba tubuhku bergerak sendiri seperti sebelumnya.  Tak sadar diriku langsung berdiri dan mengepalkan tanganku dan melepaskan tinjuan ke arah mereka.
“Dbukkkk!” Tinjuku langsung di tahan oleh Nakata. “Ryuko, apa-apaan ini? Kau pikir ini lucu?”, ucap Nakata dengan wajahnya yang agak kesal. “A-aku?”, jawabku dengan kebingungan karena aku tak bisa mengatakannya.
“Kenapa Ryuko, hah? Kenapa dirimu sekarang seperti dirinya?”, ucapnya marah karena tindakanku tadi.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Sejak kapan kita kembali berteman setelah insiden tadi?” Tak sadar mulutku bergerak sendiri mengucapkan kalimat yang tak ingin kuucapkan.
“Kenapa ini? Mengapa tubuhku seperti terambil alih oleh seseorang?”, gumamku sambil cemas melihat reaksi mereka.
“Oh gitu! Jadi kami datang mengikutimu ke sini hanya ingin menghalangimu? Baik! Jika itu keputusanmu, aku tak akan lagi peduli denganmu, Ryuko! Camkan itu baik-baik!”
Aku merasa tak bisa apa-apa. “Mengapa hal ini harus terjadi padaku? Aku tak ingin kembali kehilangan temanku lagi. Aku sangat sedih saat kehilangan satu temanku, mengapa harus lagi? Aku tahu ini salahku karena menyakiti mereka waktu itu, tapi sekarang apa salahku?”, pikirku dalam hatiku dengan kesedihan yang tak bisa kutahan.
“Teman-teman, kita tinggalkan aja si anak yang rewel yaitu Ryuko ini! Dia bukan lagi teman kita. Titik!”, tegas Nakata dengan kekesalannya yang bisa kurasakan.
“Selamat tinggal lagi Ryuko! Kuharap kamu bersenang-senanglah dengan kesendirianmu itu. Dasar payah, aneh, konyol!”
“Ryuko! Kupikir kau akan menjadi teman kami lagi. ‘Kan sudah berapa kali kubilang, mengapa kau harus menjadi seperti Uzran? Bisakah kau menjadi dirimu sendiri? Aku benar-benar membencimu. Sungguh benci!”, sambung Anata dengan meneteskan air matanya yang membasahi jilbabnya.
Tiba-tiba muncul lagi suara aneh dalam pikiranku, “Bagaimana? Tak ada lagi yang peduli denganmu. Mereka meninggalkanmu seakan-akan dirimu pengecut. Apalagi yang bisa kauharapkan dari mereka, Ryuko?”. Aku tersentak mendengar ucapan kata-kata itu. Yang kulakukan hanyalah terdiam di tempatku menyaksikan merek a yang kian menjauh dariku.
Aku berjalan melawan arah dari tempat mereka. Meski mereka tak menganggapku, tapi aku tetap teman mereka Aku melewati bayangan kegelapan yang menerpa diriku dengan kencang. Aku berjalan bukan lagi menjadi Ryuko yang dulu yang memiliki teman dan sahabat, namun Ryuko yang sekarang yang tak dihiraukan seseorangpun lagi.
***************
Hari baruku dimulai. Aku sampai di antara dua gedung. “Oh, jadi kau anggota  baru kami, siapa namamu”, tanya seseorang berpakaian abu-abu kehitaman. “Namaku Ryuko. Tak usah basa-basi lagi, di mana Uzran?”, tanyaku dengan nada memaksa sambil memberatkkan suaraku.
“Oh, jadi anak itu. Dia ada di puncak gedung kedua itu bersama Tuan Razzel. Sebelum itu, perkenalkan aku Forstly.”, jawabnya sambil mengangkat tangannya yang hendak menjabat tanganku.
“Tuan? Apa maksudnya? Kukira ini sebuah tempat yang menyeramkan karena aku pernah liat cahaya aneh.”, kataku dengan mengabaikan ajakan berjabatnya.
“Masalah itu ya, itu adalah penemuan baru kami, telerpotasi! Kami  berencana untuk menjadikan korbannya sebagai anggota kami dengan memanipulasi gelombang otaknya. Jam tangan yang kaupakai itu adalah alatnya!”.
“Benar-benar licik!”, ucapku sambil mengepalkan erat-erat tanganku.
Tanpa banyak bicara lagi aku langsung masuk ke gedung itu dengan modal “nekat”. Aku menaiki lift dan memilih lantai teratas.
“Tingg” Akhirnya aku sampai di lantai teratas bangunan ini. Kondisinya sangat sepi, hanya kulihat segelintir orang saja.
“Hei, kudengar Tuan Razzel akan memberikan misi kepada bocah Uzran itu” Terdengar suara beberapa orang yang berada di sampingku. Karena penasaran, aku menguping pembicaraan mereka di balik dinding.
“Tuan Razzel menyuruhnya untuk merahasiakan hal ini dari si anak baru itu karena misi ini akan sulit bila dia tahu.”, sambungnya yang membuatku agak cemas apa yang akan diteruskannya. “Jadi misinya itu adalah untuk melenyapkan tiga orang yang pernah datang bersamanya itu”. “Apa?”, teriakku dengan kencang dari balik dinding.
“Siapa di sana”, ucap mereka dengan ekspresi terkejut akan teriakanku. Aku perlahan-lahan menunjukkan diriku di hadapan mereka dengan memasang wajah bengisku ke arah mereka. “T-tak mungkin? Kau?”, sambung seseorang dari mereka dengan tegang. “Tak mungkin apa? Aku ini Ryuko, anggota baru kalian di sini. Tapi, ada satu hal yang mengusikku…”, kataku dengan agak menjeda pembicaraanku sebentar.
“…jadi, temukan aku dengan Uzran! Aku tak ingin dia mengganggu mereka lagi.”, sambungku yang kini berada tepat di belakang orang itu sambil meletakkan pedangku di depan lehernya dengan kemampuan telerpotasiku. “Glek” Orang itupun ketakutan sambil menelan ludah karena aksiku ini. Temannya yang satunnya lagi hanya terdiam kaku di tempat. “D-disana.”, ucapnya sembari menunjukkan jarinya ke arah sebuah pintu.
“Bagus! Tapi jika kau bohong, aku tak segan menghabisi kalian!”, ucapku dengan ekspresi jahatku ke mereka. Aku memasuki ruangan itu. Kulihat ada seseorang duduk di sebuah kursi mewah dia atas balkon. “Siapa kau? Di mana Uzran? Aku tak ingin berurusan dengan badut di atas balkon ini!”, ucapku dengan menghunuskan pedangku ke arahnya.
“Balkon? Badut? Lucu sekali kau berkata seperti itu. Betulkan Uzran?”, jawabnya di sertai bertanya pada nama yang tak asing lagi bagiku.
 “Hahaha! Benar sekali. Dia masih tak berbeda dari dirinya yang dulu.” Seseorang itu menampakkan dirinya di hadapanku yang tak lain adalah Uzran. “Lama sekali tak jumpa, Ryuko!”, ucapnya sambil membuka masker dan topeng miliknya.
“Jadi kaudisini ya? Apakah kau benar-benar pikir sudah lama sekali? Tujuh hari yang lalu kauhampir membunuhku. Baiklah itu kumaafkan. Namun ada hal yang benar-benar mengusikku. Jangan coba-coba kau sentuh mereka lagi!”, tegasku dengan tatapan kasarku ke arah Uzran. 
“Cih, ternyata kaumasih belum sadar juga. Kalau gitu, Tuan Razzel. Izinkan aku untuk menghabisinya di sini.”, ucap Uzran dengan mengeluarkan pedangnya.
Ternyata orang yang di atas itu ternyata adalah Tuan Razzel. “Gawat, aku tak bisa menghadapi mereka berdua di sini.”, pikirku dengan agak khawatir. “Hmm… Teman-teman?”, kataku sambil melotot ke arah belakang mereka. “Mana?”.
Mereka berdua spontan langsung mengalihkan pandangannya ke belakang. “Hehe!”, ketawa kecilku karena berhasil mengalihkan perhatian mereka. Aku langsung bertelerpotasi sejauh mungkin dari tempat mereka. “Cih dia menipu kita”, ucap Uzran dengan kekesalannya.
Aku kembali ke tempat insiden Uzran menyerangku. “Ternyata benar, aku memang tak bisa menepati janjiku. Aku memang takkan pernah bisa mengembalikannya. Aku memang tidak berdaya!” Aku langsung melepas jam tanganku dan membatingnya hingga hancur. “Alat sampah!”, teriakku dengan kesal.
Sekarang, mereka sudah kembali. Mereka semua sudah meninggalkan diriku di kota ini. Haripun sudah senja dengan butiran salju kecil berjatuhan di tubuhku.
“Tap-tap” Aku mendengar suara langkah kaki yang beramai-ramai. “Kau sudah kembali ya.”, kata seseorang dari belakangku.
“Kalian?” Aku menyaksikan yang membuatku amat terkejut. “Mengapa kalian ada di sini? Bukankah kalian sudah pergi toh?”, sambungku seolah tak percaya apa yang kulihat. “Kami bukan pengecut yang meninggalkan seseorang teman di sini!”, teriak seseorang yang tak lain adalah Nakata.
“Para dosen dan yang lainnya sudah kembali ke tempat asal mereka. Kami masih menunggumu di sini, Ryuko. Kami yakin kaupunya alasan, tak mungkin kau tiba-tiba mengkhianati kami.”, sambung Anata yang membawa payung bersama Hinoka, temannya yang juga seseorang perempuan.
“Terima kasih semuanya!” Aku senang bercampur sedih mereka kembali padaku. Mereka mengatakan padaku kalau malam ini aku harus beristirahat. Lukaku kata mereka belum terlalu sembuh. Meskipun demikian, kurasakan tubuhku kembali normal kembali setelah berada di zona itu.  Entah apa yang mereka lakukan padaku. Hal itu membuatku curiga pada satu hal “Jangan-jangan adik, ayah dan  ibuku?”, gumamku dengan kekesalanku.
“Ada apa Ryuko?”, Anata bertanya padaku karena kebingungan.
“Tidak apa-apa, aku tak perlu istirahat.” Aku kembali merenung tentang hal itu.  Ini menantangku untuk menjawab teka-teki itu, yaitu tentang insiden adik dan orang tuaku, serta insiden yang menimpaku.
Mereka mengajakku ke suatu tempat, yaitu festival mahasiswa dan pelajar yang sebenarnya masih berlangsung di sebuah gedung. Mereka berkata kalau sekolahku memang boleh pulang lebih cepat. Akupun tak dapat menolak tawaran mereka, wajar saja karena aku ingin membuat kenangan yang sekiranya bisa menyenangkanku, bukan hanya kesedihan.
Aku dan teman-temanku menghadiri acara itu. Kami membeli beberapa souvenir khas serta melihat bazar barang-barang menarik yang dijual. Tak jauh dari sana, juga terdapat sebuah supermarket. Kamipun juga melihat dan membeli sesuatu di sana untuk keperluan kuliah kami. Maklum, dosen kami berkata kalau sebentar lagi akan diberi sebuah tugas dan kami diberi uang untuk modal tugas itu.
                                  ( Episode III “Future”)
Berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun telah kulewati. Sejak 4 tahun yang lalu sejak insiden itu, aku kini berusia 24 tahun. Usia yang bisa dikatakan bagiku telah dewasa untuk menjalani kehidupan ini.  Dunia serasa berubah saat diriku yang masih kanak-kanak dan saat dewasa kini.
“Tringg” Teleponku tiba-tiba berbunyi dari balik sakuku saat aku sedang berjalan. Aku melihat sebuah notifikasi SMS dari nomor asing. Aku membuka SMS itu yang membuatku terperangah. “Temui aku di lorong gedung di samping rumahmu. Apa kau ingin melihat teman-temanmu hilang?”, bunyi pesan SMS itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi ke rumahku dan mengambil pedang yang pernah kupakai sebagai senjata. Akupun bertemu dengan seseorang pernah kujumpai di suatu tempat.
“Kamukah itu Uzran?” Aku terperangah melihat teman lamaku itu kembali menjadi seorang kriminal.  Akupun juga melihat teman-temanku terikat dengan tali pada tangan dan kakinya. “Lepaskan mereka! Mereka tidak bersalah!”, teriakku dengan nada marahku pada teman lamaku itu.
“Tak masalah, karena kamu juga yang akan kuselesaikan!” Dia langsung melesat ke arahku memakai pedang listrik yang sama pada waktu itu.
“Ctangg” Aku menangkis serangannya menggunakan pedangku yang kubawa. “Sadarlah Uzran, dirimu itu sedang dikendalikan” Aku mengatakan hal itu karena akupun pernah merasakan hal yang sama, yaitu pemanipulasian gelombang otak.
”Sratt” Gerakan pedangnya cukup cepat hingga membuat lengan bajuku tersobek.
“Kalian berdua hentikan! Jangan lakukan hal itu lagi!”, Anata berteriak dari tempatnya dengan badannya yang terikat. Kulihat hanya Anata yang masih sadar.
“Ah berisik! Pengganggu seperti dirimu sebaiknya yang kuhabisi dulu.” Uzran mengatakan hal itu sambil memalingkan pandanganya.
“Krakkks” Aku melukai tubuhnya dengan pedangku selagi dia mengoceh itu. “Maafkan aku melakukan hal pengecut seperti itu. Uzran, tolong sadarlah! Aku bisa melihat dirimu yang sedih dan kesepian. Akupun bisa melihat air matamu membasahi matamu itu!”
Aku memang sudah berbeda dari diriku empat tahun yang lalu yang masih labil, dulu dia yang melukai diriku. Sekarang aku bisa sedikit melukainya meskipun dengan tindakan seorang yang curang.
“Kau tak bisa berbohong lagi Uzran, lepaskan topeng kendali dirimu itu!”, sambungku dengan berteriak sebisaku.
“Hkhh! Sepertinya sedikit rasa sakit bisa membuatku terbangun, iya kan Ryuko?”, Uzran tiba-tiba mengatakan hal itu padaku.
 “Uzran, benarkah kau telah sadar?”, aku bertanya dengan hal yang tak bisa kukira.
“Sudah lama ya, Ryuko. Aku lihat kita sudah makin dewasa. Kau merasa begitu kan? Hkhk!” Dia merasa kesakitan karena luka yang kubuat.
“Uzran, maafkan aku. Ayo sekarang cepat kau ke rumah sakit. Aku akan melepaskan mereka dulu.”, aku mengatakan hal itu padanya dengan rasa khawatir. “Tak perlu, Ryuko. Sebaiknya kau bawa dirimu dan temanmu pergi. Sepertinya ajalku sebentar lagi datang.”, dia mengatakan hal itu yang makin membuatku geram.
“Cukup, Uzran! Cepat pergi ke rumah sakit!”, aku makin mengatakan hal itu lebih keras padanya.
“Kau memang masih tak tahu apa-apa, Ryuko”, dia berkata hal itu lagi setelah empat tahun yang lalu. “Apa maksudmu itu?”, tanyaku dengan cemas seperti ada sesuatu yang sedang menghampiri.
“Jedarr!” Sesuatu jatuh dari arah belakangku dengan asap yang menutupinya. “Sepertinya akan kubuat dirimu menurut padaku lagi, Uzran”, ucap seseorang di balik asap yang samar-samar.
“Sebaiknya kau tarik lagi ucapanmu itu, Razzel.”, jawab Uzran dengan menantangnya.
Razzel? Rasanya itu nama yang pernah kudengar. Tak salah lagi, dialah pemimpin dari anggotanya itu. “Arghh!” Uzran tiba-tiba merasa kesakitan. Kulihat sepertinya dia mulai dikendalikan Razzel itu.
“Baiklah kalau itu maumu. Tapi, kau akan hilang selamanya dari dunia ini!” Razzel mengeluarkan sebuah senjata pedang yang dilapisi petir mirip seperti punya Uzran.
Pria itupun mengayukan senjatanya dengan cepat ke arahnya. Aku berusaha untuk menangkisnya, namun tubuhku tak bisa bergerak seperti dikendalikannya. 
“Tidak!”, teriakku histeris melihat pedangnya yang mengeluarkan listrik menyambar diri Uzran serta hingga tak berkutik. Kondisinya kulihat hampir tak sadarkan diri dengan dirinya yang sekarat.
“Uzran!”, teriakku sambil mengeluarkan tangisku. “Ryuko, kumohon kau lindungi mereka. Aku sekarang, sudah tamat.”, ucapnya dengan nada sayu dengan menahan sakitnya. “Uzran, kumohon tetaplah bersamaku.”, jawabku dengan histeris tanpa bisa menggerakkan tubuhku.
Aku berkata dari lubuk hatiku yang dalam pada Uzran, “Uzran, apakah ini sebabmu seperti itu? Aku tak bisa bayangkan dirimu telah menjadi seperti itu karena aku. Seberapa besar hal yang kau alami itu? Ini saja membuatku serasa putus asa dari kenyataanku.”, pikir disertai gumamku yang mendalam jauh di lubuk hatiku.
“Benar, aku sekarang hanya sebatang kara. Saat kecil aku kehilangan adikku yang kucintai. Padahal kau sekarang bisa menganggapku adikmu sendiri. Tak lama itu, aku kehilangan kedua orang tuaku yang sangat-sangat kucintai. Tak terbayang sudah berapa air mataku menetes saat kejadian itu.”, sambungku.
“Tadi malam kejadian serupa terulang lagi, aku ditinggalkan dirimu, Uzran. Sahabatku yang tak pernah tergantikan siapapun juga. Kau ingat pengalamanku kau memanggilmu adekmu kan? Aku sebenarnya senang kau menghiburku seperti itu. Kuharap kamu bisa memanggilku dengan sebutan itu lebih lama lagi, namun tak kusangka malah berakhir seperti ini lebih cepat dari dugaanku.”, sambungku lagi dengan makin meneteskan air mata.
“Uzran, waktu itu aku malah ditinggalkan lagi. Anata, Yukito, dan Nakata serta yang lainnya meninggalkanku sendirian. Aku terpaku dan terdiam seribu bahasa ketika mataku menyaksikan itu. Aku tak tahan apa lagi yang membuatku makin kesepian. Aku kehilangan adik, orang tuaku, dirimu, dan teman-temanku yang lainnya yang sangat kucintai semuanya. Aku benar-benar seperti debu yang terasingkan yang tak dihiraukan lagi.”
“Hingga saat ini,  aku bisa kembali mendapatkan kesenangan itu. Akupun senang saat teman-temanku dan dirimu kembali! Namun, ternyata kau terlibat masalah ini karenaku. Ternyata memang akulah sebenarnya yang jahat di sini Uzran! Egois sekali aku menyalahkanmu atas kejahatanku sendiri.” Tangisku mengalir deras di pipiku sambil tertunduk dalam kesedihanku.
“Cukup Ryuko! Kamu tak perlu menangisi dirimu sendiri lagi. Aku senang kau mengatakan semua hal yang jujur itu padaku. Aku…” Tiba-tiba Uzran berhenti berbicara.
 “Tidak mungkin! Uzran?”, aku tersentak melihat tubuhnya yang telah terbujur kaku di tanah tanpa sempat meneruskan katanya.
“Kau, takkan kumaafkan!”, aku berteriak hingga emosiku berada pada puncaknya. Aku memberontak tak peduli seberapa kuat kendalinya, aku tak peduli.
 “Tidak, bagaimana mungkin kau gagal kukendalikan?” Razzel tersentak kaget karena aksiku. “Tak peduli kau mengedalikan diriku atau tidak, tetapi aku tetaplah aku!”
Aku mengambil pedangku dan berlari ke arahnya. Diapun bersiap menangkis seranganku. “Ctangg!” Aku mencoba menebas jam yang dikenakannya karena itulah potensinya, meskipun dia tangkis.
 “Kyyyaah!” Aku mencoba mengeluarkan semua tenagaku untuk merobohkan pedangnya. “Kenapa, kau bisa sekuat ini”, ucap Razzel yang gemetaran.
“Ini adalah ikatan kami yang takkan bisa kau goyahkan!”, teriakku dengan emosi yang menjadi-jadi. “Ckraakkk” Pedangnya terhempas ke belakangnya dan membuatku bisa menebas jamnya itu. “Ckringgg!” Jam tangannya terlepas dan hancur dari tangannya dan juga menggores tangannya.
“Angkat tangan!” Beberapa orang polisi datang menyergap. “Kaukah pembunuhnya?”, kata seorang polisi sambil mengarahkan pistolnya ke arahku.
“B-bukan aku, tapi dia”, jawabku sambil menunjuk ke arah Razzel. “Benarkah itu?”, tanya seorang polisi teman-temanku yang terikat di tiang.
“Benar katanya, temanku Ryuko bukan pelakunya, tapi dia yang itu, Si Razzel.”, jawab Anata dengan menunjukkan pandanganya ke arah Razzel.
“Baiklah kalau gitu, aku tahan dirimu, Razzel kan? Yang lain tolong bawa yang meninggal!”, ucap polisi yang memborgol kedua tangannya.
“Ryuko, ingat baik-baik. Dirimu memang berbeda dari orang tuamu dan adikmu itu. Kalau aku tahu, seharusnya dirimulah yang menjadi targetku.”, ucap Razzel dengan memandangku dengan kebencian. “Sudah diam! Jalan!”, tegas polisi pada Razzel.
Ternyata dugaanku benar. Teka-teki orang tuaku dan adikku ternyata selama ini pelakunya adalah Razzel. Aku tak tahu apa salah keluargaku. Namun dia melakukan hal itu terlalu keji. Dia memanfaatkan sahabatku Uzran yang tak bersalah untuk melukai diriku. Uzran, maafkan aku. Kalau bukan karena aku, dirimu takkan pernah seperti ini. Uzran, kaulah sahabat terbaikku meskipun saatku dewasa. Kumohon, seandainya kau masih hidup, tetaplah bersamaku Uzran!
                                                                             ----Tamat----